Biografi ringkas Al-Habib Hasan bin Ja’far Assegaf
Al-Habib
Hasan Bin Ja`far Bin Umar Bin Ja`far Bin Syeckh Bin Segaf Bin Ahmad Bin
Abdullah Bin Alwi Bin Abdullah Bin Ahmad Bin Abdurrahman Bin Ahmad Bin
Abdurahman Bin Alwi Bin Ahmad Bin Alwi Bin Syeckh Abdurrahman Segaf Bin
Muhammad Maula Dawilaih Bin Ali Bin Alwi Guyur Bin (Al-Faqihil Muqaddam)
Muhamad Bin Ali Bin Muhammad Shohibul Marboth Bin
Ali Gholi Ghosam Bin Alwi Bin Muhammad Bin Alwi Bin Ubaidillah Bin Ahmad Al-Muhajir Bin Isa Bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Sodiq Bin Muhammad Al-Baqir Bin Ali Zaenal Abidin Bin Al-Imam Husein Assibit Bin Imam Ali KWH Bin Fatimah Al-Batul Binti Nabi Muhammad SAW.
Ali Gholi Ghosam Bin Alwi Bin Muhammad Bin Alwi Bin Ubaidillah Bin Ahmad Al-Muhajir Bin Isa Bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Sodiq Bin Muhammad Al-Baqir Bin Ali Zaenal Abidin Bin Al-Imam Husein Assibit Bin Imam Ali KWH Bin Fatimah Al-Batul Binti Nabi Muhammad SAW.
Habib Hasan adalah anak sulung Habib Ja’far Assegaf yang lahir di Bogor pada 26 Februari 1977,
guru mengaji beliau di waktu kecil untuk mengenal huruf adalah Syaikh
Usman Baraja dan di dalam bahasa Arab oleh Syaikh Abdul Qodir
Ba’salamah, dalam ilmu Nahwu dah Shorof oleh Syaikh Ahmad Bafadhol.
Seperti
biasanya di siang hari aktifitas beliau seperti aktifitas anak-anak
pada umumnya yaitu belajar di SD, SMP, SMA dan di lanjutkan di IAIN
Sunan Ampel Malang.
Beranjak
dewasa beliau bersama kakeknya Al Habib Husein bin Abdulloh bin
Mukhsin Al Attas di rumah Habib Keramat Empang Bogor sering menyambut
tamu-tamu yang mulia dan mendapatkan do’a-do’a dari mereka, di antara
tamu tersebut adalah :
- Al Habib Abdul Qodir bin Ahmad Assegaf (Jeddah)
- Al Habib Muhammad bin Alwi Al Maliki (Mekkah)
- Al Habib Hasan bin Abdulloh As-Syathiri (Tarim)
- Al Habib Umar bin Hud Al Attas (Cipayung, Bogor)
- Al Habib Ahmad bin Muhammad Al Haddad (Condet, Jakarta)
- Al Habib Muhammad bin Ali Habsyi (Kwitang, Jakarta)
- Al Habib Abdulloh bin Husein Syami Al Attas (Jakarta)
- Al Habib Muhammad bin Abdulloh Al Habsyi (Banyuwangi)
- Al Habib Idrus Al Habsyi (Surabaya)
- Al Habib Muhammad Anis bin Alwi AL Habsyi (Solo)
- Syaikh Abdulloh Abdun
- Al Habib Hasan bin Ahmad Baharun
- Al Habib Al Alamah Al Barokah Abdurrahman bin Ahmad Assegaf
Ilmu
dan pengalaman yang di carinya selama beberapa tahun menjadikan
pengenalan yang lebih terhadap diri dan jati dirinya, di karenakan
keberkahan sang guru dan alim ulama.
Selama 1 tahun beliau tidak keluar rumah kecuali untuk berziarah
ke Maqom kakeknya Al Habib Abdulloh bin Mukhsin AL Attas dan
menghabiskan waktunya di kamar untuk bersyukur dan bertafakur kepada
Allah SWT guna mengamalkan ilmu yang telah di ajarkan oleh guru-guru
beliau yang pada akhirnya beliau mendapatkan Bisyaroh (Petunjuk) untuk
mengajarkan ilmu Allah SWT kepada umat Nabi Muhammad SAW.
Tahun 1998, Habib Hasan membuka sekaligus memimpin Majelis Ta’lim Al
- Irfan. Pengajian digelar di kediamannya, di Bogor, tepat di belakang
rumah Habib Kramat Empang, Bogor.
Pada suatu malam, setelah shalat Istikharah dan sebelumnya melakukan ziarah ke makam kakeknya, Habib Abdullah bin Muhsin Alattas, di Bogor, Habib Hasan bermimpi. “Ana bermimpi bertemu Habib Kuncung (Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad). Dalam mimpi itu Habib Kuncung berkata agar ana berdakwah di Jakarta,” tutur Habib Hasan.
Menyadari bahwa saran itu datang dari habib kharismatis yang sudah tiada, Habib Hasan pun memulai dakwahnya di Jakarta.
Pada suatu malam, setelah shalat Istikharah dan sebelumnya melakukan ziarah ke makam kakeknya, Habib Abdullah bin Muhsin Alattas, di Bogor, Habib Hasan bermimpi. “Ana bermimpi bertemu Habib Kuncung (Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad). Dalam mimpi itu Habib Kuncung berkata agar ana berdakwah di Jakarta,” tutur Habib Hasan.
Menyadari bahwa saran itu datang dari habib kharismatis yang sudah tiada, Habib Hasan pun memulai dakwahnya di Jakarta.
“Ketika itu ana bingung, karena ana belum pernah menangani hal
demikian,” kenangnya. Namun, karena tidak ingin mengecewakan tamunya,
Habib Hasan kemudian mengambil sebotol air putih dan membacakan Ratib
Alattas. Botol itu kemudian diserahkan kepada si sakit dengan pesan agar
diminum setibanya di rumah. “Dua hari kemudian orang itu kembali kemari dalam keadaan sembuh,” ujar Habib Hasan.
Entah bagaimana, rupanya peristiwa itu menyebar sehingga nama Habib Hasan dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural. Namun yang jelas, sejak itu, jama’ahnya pun bertambah secara signifikan, menjadi seratus orang.
Awal 1999, Habib Umar bin Hud Cipayung wafat. Habib Umar adalah teman kakek Habib Hasan. Untuk menghormati teman kakeknya itu, Habib Hasan mencium kening almarhum dan berdoa, “Ya Allah, jadikan aku seperti almarhum dalam hal ilmu dan amal.”
Satu bulan kemudian, jama’ah bertambah lagi, menjadi empat ratus orang.
Karena pertambahan jama’ah yang cukup besar itu, pada akhir tahun 1999, atas saran H. Jamalih bin H. Piun, sesepuh setempat, ia memindahkan tempat ta’lim ke Masjid Al-Ahyar di Kampung Kandang.
Ketika saran itu dilaksanakan, yang hadir ada sekitar lima ratus orang.
Selanjutnya, jalan lebar seperti terbuka dengan sendirinya. Masjid-masjid sekitar Cilandak membuka pintunya lebar-lebar untuk menampung acara majelis ta’lim Al-Irfan. Tahun 2000, jama’ahnya bertambah lagi menjadi sekitar delapan ratus orang, yang berdatangan dari seluruh penjuru Jakarta.
Entah bagaimana, rupanya peristiwa itu menyebar sehingga nama Habib Hasan dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural. Namun yang jelas, sejak itu, jama’ahnya pun bertambah secara signifikan, menjadi seratus orang.
Awal 1999, Habib Umar bin Hud Cipayung wafat. Habib Umar adalah teman kakek Habib Hasan. Untuk menghormati teman kakeknya itu, Habib Hasan mencium kening almarhum dan berdoa, “Ya Allah, jadikan aku seperti almarhum dalam hal ilmu dan amal.”
Satu bulan kemudian, jama’ah bertambah lagi, menjadi empat ratus orang.
Karena pertambahan jama’ah yang cukup besar itu, pada akhir tahun 1999, atas saran H. Jamalih bin H. Piun, sesepuh setempat, ia memindahkan tempat ta’lim ke Masjid Al-Ahyar di Kampung Kandang.
Ketika saran itu dilaksanakan, yang hadir ada sekitar lima ratus orang.
Selanjutnya, jalan lebar seperti terbuka dengan sendirinya. Masjid-masjid sekitar Cilandak membuka pintunya lebar-lebar untuk menampung acara majelis ta’lim Al-Irfan. Tahun 2000, jama’ahnya bertambah lagi menjadi sekitar delapan ratus orang, yang berdatangan dari seluruh penjuru Jakarta.
Melihat hal itu, Habib Umar bin Hafidz dari Tarim, Hadhramaut,
setelah meminta pertimbangan kepada Al-Alamah Habib Anis Al-Habsyi,
mengubah nama majelis ta’lim itu menjadi “Nurul Muthofa”, yang maknanya
“Cahaya Manusia Pilihan”.
Dua tahun kemudian, 2002, syiar majelis ta’lim Nurul Musthofa kian meluas. Mulai dari Warung Buncit, Mampang Prapatan, Kuningan, Kalibata, hingga Kreo. Jumlah jama’ahnya pun bertambah, menjadi sekitar dua ribu orang. Tahun 2003, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikunjungi ulama-ulama besar, seperti Habib Abdul Qadir Al-Masyhur dari Makkah, Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dan putranya, Habib Muhammad, dari Madinah, juga Habib Salim Asy-Syatiri dari Tarim, Hadhramaut.
Dua tahun kemudian, 2002, syiar majelis ta’lim Nurul Musthofa kian meluas. Mulai dari Warung Buncit, Mampang Prapatan, Kuningan, Kalibata, hingga Kreo. Jumlah jama’ahnya pun bertambah, menjadi sekitar dua ribu orang. Tahun 2003, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikunjungi ulama-ulama besar, seperti Habib Abdul Qadir Al-Masyhur dari Makkah, Habib Zain bin Ibrahim bin Smith dan putranya, Habib Muhammad, dari Madinah, juga Habib Salim Asy-Syatiri dari Tarim, Hadhramaut.
Tahun 2003 adalah tahun ujian bagi Habib Hasan. Selain ayahnya,
Habib Ja’far, wafat pada bulan haji, fitnah pun berdatangan kepadanya.
Majelis Ta’lim Nurul Musthofa dikatakan sebagai majelis bid’ah, majelis
syirik. Malah suatu hari, ketika ia bangun tidur, ranjangnya penuh
dengan kalajengking. Maka Habib Hasan pun segera bangkit dari tidur dan berdoa.
Dalam sekejap kalajengking-kalajengking itu mati semua. Pada kali yang lain ia menemukan seekor ular di kamarnya. Bahkan
pernah selama satu bulan kakinya tidak bisa digerakkan. Selama itu
kegiatan ta’lim diserahkan kepada adiknya, Habib Abdullah. Kakinya sembuh berkat bacaan rutin Subhanallah wa bihamdihi, Subhanallahil ‘adhim, Astaghfirullah.
Sempat terlintas dalam benaknya akan meninggalkan kegiatan majelis
ta’limnya itu. Tapi dibatalkan, karena tidak disetujui Al-Alamah Habib
Abdurrahman Assegaf, Bukit Duri. Setelah
mendapat dukungan Habib Abdurrahman, hatinya semakin mantap. Dan untuk
menghadapi fitnah-fitnah itu, Habib Hasan melakukan ziarah ke makam para
shalihin di berbagai tempat, seperti di Luar Batang, Kwitang, Bogor, Tegal, Pekalongan, Solo, Gresik, Surabaya, Bangil, Malang, dan lain-lain.
Suatu hari, Habib Hasan mengemukakan kepada ibunya bahwa ia ingin menikah.
Habib Hasan kemudian mengambil satu dan menyimpan di kantung bajunya tanpa melihat wajah di gambar itu.
Esok harinya ia pergi ke Tegal, dan memakai baju yang sama. Jadi ia yakin bahwa foto syarifah pemberian ibunya itu masih ada di kantung baju.
Namun, ketika sampai di Tegal, foto itu raib.
Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Solo.
Ketika sampai di rumah Al-‘Alamah Habib Anis Al-Habsyi di Solo, di kantungnya terasa ada sesuatu yang mengganjal. Setelah diraba, ternyata ganjalan itu adalah sebuah foto, yaitu foto syarifah pemberian ibunya.
Saat bertemu Habib Anis, Habib Hasan minta pendapatnya tentang calon istrinya yang wajahnya ada di dalam foto itu. Padahal sampai detik itu ia belum melihat wajah di foto itu.
Dan ternyata Habib Anis menyatakan persetujuannya terhadap calon tersebut.
Sekembalinya ke Bogor, kepada ibunya Habib Hasan menceritakan pertemuannya dengan Habib Anis.
Maka keluarganya pun segera mempersiapkan acara untuk melamar gadis itu. Pada saat itulah Habib Hasan baru berani melihat wajah di foto yang telah dibawanya ke mana-mana itu, yang ternyata adalah Syarifah Muznah binti Ahmad Al-Haddad, keponakan Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Haddad, Condet.
Lamaran tidak bertepuk sebelah tangan.
Sebulan kemudian, pernikahan dua sejoli itu dilangsungkan di rumah mempelai perempuan.
Kini pasangan itu telah dikaruniai tiga orang anak: Rogayah, Attos Abdullah, dan Ali ( Tahun 2011 ini Habib Hasan dikaruniai anak laki-laki : Abdul Qadir )
Setelah Habib Hasan berkeluarga, semuanya jadi tambah lancar. Jama’ahnya bertambah hingga enam ribu orang, tersebar di Jakarta Selatan dan Timur. Bahkan tahun 2005 jumlah jama’ah mencapai 15 ribu orang.
Tahun berikutnya, Habib Hasan pindah ke Kampung Manggis di depan
kantor Darul Aitam di Jalan Kahfi I, Jakarta Selatan. Di situ dia
membangun rumah dan mushalla di atas tanah hibah dari H. Abdul Gofar,
Hj. Nur Utami, dan H. Masturoh.
Pada tahun itu juga Habib Hasan mengukuhkan Yayasan Nurul Musthofa,
yang diketuai oleh adiknya, Habib Abdullah bin Ja’far Assegaf, dan dia
sendiri, dengan izin resmi dari Departemen Agama.
Tahun 2006, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berkembang semakin pesat.
Pada tahun ini pula, Habib Hasan mulai mendiami rumahnya sendiri yang juga menjadi kantor sekretariat Yayasan Nurul Musthofa.
Dengan
karunia Allah SWT inilah Majlis Nurul Musthofa yang beliau bina dengan
cara mensyiarkan Sholawat dan Salam kepada Nabi Muhammad SAW serta
mengenalkan pribadi Rasululloh SAW sebagai suri tauladan manusia
sehingga dapat merebut hati manusia sebanyak ribuan orang untuk
bersholawat kepada Rasululloh SAW setiap minggunya.Tahun 2006, Majelis Ta’lim Nurul Musthofa berkembang semakin pesat.
Pada tahun ini pula, Habib Hasan mulai mendiami rumahnya sendiri yang juga menjadi kantor sekretariat Yayasan Nurul Musthofa.
Majlis yang beliau bina turut pula di do’akan oleh para alim ulama
terkemuka pada zaman sekarang ini dan sempat duduk di Majlisnya di
antaranya adalah :
- AL Habib Muhammad Anis bin Alwi Al Habsyi
- Al Habib Abdurrahman bin Alwi Assegaf
- Al Habib Abdurrahman bin Muhammad Al Habsyi
- Al Habib Abdurrahman bin Muhammad Bil Faqih
- Al Habib Salim bin Abdulloh As-Syathiri
Serta masih banyak lagi yang lainnya yang tersimpan kedatangan beliau di file Majlis Nurul Musthofa.
Di
dalam Majlis pun di bacakan Kitab Annashohidiniyyah karangan Al Habib
Abdulloh bin Alwi Al Haddad dan berbagai kitab lainnya yang di karang
oleh para Salaffuna Sholihin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar